Tampilkan postingan dengan label adab berbusana muslimah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adab berbusana muslimah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Maret 2014

Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram

Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram - Sahabat Muslimah Cantik, Apa kabar? semoga selalu dalam lindungan Allah Swt. Ohya, apakah anda seorang pekerja? Pekerja dalam arti bekerja untuk memenuhi kebutuhkan rumah tangga? Kalau boleh tahu anda bekerja di mana dan sebagai apa? Jika di rumah, mungkin tidak ada masalah, tapi bagaimana jika anda bekerja di luar rumah? kantor misalnya. Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana hukum wanita bekerja mencari nafkah? Boleh, sunnah, atau haram?

Nah, kali ini kami ingin berbagi sebuah artikel yang ditulis oleh Nur Fitri Fatimah dalam blog muslimah.or.id dengan beberapa perubahan. Siapa tahu, anda pas tidak membuka situs itu, dan kebetulan menemukannya di sini. Semoga menambah kemanfaatan tulisan tersebut. Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah

Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram?

hukum muslimah bekerja mencari nafkah

Kita tahu, Islam mengatur semua hal, bahkan hal kecil sekalipun, apalagi soal harkat dan martabat wanita. Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan. Sebelum datangnya Islam, wanita diperlakukan semena-mena. Pada masa jahiliyah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena diapandang bahwa wanita hanya akan menyusahkan. Dalam al-Qur'an sudah dijelaskan, yang artinya:“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” [Q.s At-Takwir: 8-9]

Dalam masyarakat Yunani, wanita dipandang sebagai barang yang dapat diperjual- belikan. Dalam masyarakat Hindu, bahkan wanita disamakan dengan makhluk jelata yang setingkat dengan kasta hewan. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Wanita Dimuliakan dalam Islam

Benar bahwa Islam datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi yang layak, memberikan hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi sedikitpun. Islam memuliakan kedudukan kaum wanita, baik sebagai ibu, sebagai anak atau saudara perempuan, juga sebagai istri. Pada poin yang terakhir ini, yaitu sebagai istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi makanan, pakaian, dan sebagainya. Seorang istri berhak mendapatkan apa-apa yang ia butuhkan dengan cara meminta kepada suaminya dengan cara yang ma’ruf.

Sebuah hadis menyatakan: Dari ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya dengan sembunyi-sembunyi“ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ambillah  harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik)” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5324), Kitab “an-Nafaqaat”, Bab “Idzaa lam Yunfiqir Rajulu”; Muslim dalam Shahih-nya (no. 1714), Kitab “al-Aqdhiyah”, Bab “Qadhiyah Hind”, dari ‘Aisyah)

Sayangnya, hak wanita di zaman sekarang ini seringkali “dipaksakan” oleh sebagian kalangan. Beberapa di antaranya yang menamakan diri mereka sebagai feminis (yang katanya memperjuangkan hak wanita), mereka berpendapat bahwa wanita harus sejajar dengan laki-laki, wanita tidak boleh dikekang, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut malah membuat wanita kehilangan kemuliaannya.

Wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, sehingga tidak akan bisa seorang wanita bertindak seperti laki-laki, bebas keluar rumah dan eksis di ranah publik. Sebagai contoh perbedaan laki-laki dan wanita (yang akan berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh untuk wanita dan yang tidak) adalah perbedaan fisik. Ini yang pertama. Laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat sehingga mampu menerima tantangan yang keras untuk bekerja di luar rumah, sedangkan wanita dengan kelemah lembutannya diciptakan untuk tetap berada di rumah, mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan wanita yang mudah tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haidh. Keempat, perbedaan susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki jauh lebih unggul daripada otak wanita, sehingga lebih cocok bila laki-laki lebih banyak berada di ranah publik.

Namun, Islam agama yang sempurna tidaklah mengungkung para wanita dan sama sekali tidak membolehkannya keluar rumah. Adakalanya wanita dibutuhkan kehadirannya di luar. Atau mungkin mereka membutuhkan sesuatu yang harus didapat dengan cara keluar dari rumahnya.

Bagaimana Aturan Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?

Jika wanita keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:
  • Mendapatkan izin dari walinya

    Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasabiyah (garis keturunan, seperti dalam An Nuur:31), sisi sababiyah (tali pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham (kerabat jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim dalam pernikahan atau yang mempunyai wewenang seperti hakim). Jika wanita tersebut sudah menikah, maka harus mendapat izin dari suaminya.
  • Berpakaian secara syar’i

    Syarat pakaian syar’i yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan (wajah dan telapak tangan, -ed), tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak memakai wewangian. Untuk soal pakaian kerja, ada beberapa contohnya di blog ini: Anda bisa membaca Memilih warna Busana Kerja dan Aneka Model Blus Batik 2014 yang barangkali cocok untuk busana kerja anda.
  • Aman dari fitnah

    Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan kaki keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, mereka terjaga agamanya, kehormatannya, serta kesucian dirinya.Untuk menjaga hal-hal tersebut, Islam memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
  • Adanya mahram ketika melakukan safar
    Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”; Muslim (no. 1341), Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahramin ilal hajji wa Ghairihi”, dari Ibnu ‘Abbas]
Lalu pertanyaannya, pekerjaan apa yang cocok bagi wanita? Berikut adalah jawabannya.

Ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka wanita pun boleh keluar rumah bahkan untuk bekerja. Namun hendaknya dipahami lagi, jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang boleh dilakukan oleh wanita, sesuai dengan aturan Islam.

Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
  • Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium.
    Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
  • Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara.
  • Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
  • Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
  • Di bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
  • Di bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang . Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
  • Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
  • Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri.
Demikian, semoga bermanfaat. - Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram

Rabu, 05 Maret 2014

Wanita yang Dipuji dan Dilaknat - Anda yang Mana?

Wanita yang Dipuji dan Dilaknat - Anda yang Mana?

Wanita yang Dipuji dan Dilaknat - Anda yang Mana? - Posisi wanita ibarat pedang bermata dua. Jika ia baik, dapat menunaikan tugas pokok dan tujuannya yang telah digariskan, maka ia akan menjadi sebuah pondasi yang baik dalam bangunan masyarakat Islami. Pondasi itu saling memegang akhlak dengan kuat dan berdiri di atasnya penyangga-penyangga yang kokoh. Akan tetapi jika sebaliknya -tidak demikian keadaan wanita-, sebaliknya pulalah yang terjadi.

Wahai Kaum Wanita, Begitu Mulianya Dirimu


Begitu mulianya wanita, sehingga Islam telah memperhatikan wanita dengan perhatian yang sangat tinggi, memagarinya dengan pembinaan dan perhatian. Islam mensyariatkan hak-hak wanita yang dapat memperbaiki keberadaannya dan fitrahnya. Hal ini tidak dapat ditetapkan oleh suatu umat pun dari seluruh umat sepanjang masa.

Akan tetapi tatkala wanita telah berpaling dari urusannya yang pokok, urusan yang telah digariskan oleh Islam baginya dan ia lebih memilih sesuatu yang buruk serta menghapus ajaran-ajaran yang baik dalam dirinya, maka ketika itu ia akan berubah menjadi pedang yang membunuh. Pedang yang membinasakan dan merobohkan umat-umat, serta merobek-robek mereka dengan robekan yang buruk.

Mari Kita Renungkan


Wahai saudariku… pentingnya kita dalam menapak tilas sejarah masa lalu tentang generasi wanita-wanita yang dipuji dan yang dilaknat oleh Allah ta‘aala. Sebuah urgensitas yang harus direnungkan bagi kita seorang muslimah. Bagaimana potret kehidupan kaum wanita di zaman silam?

Kebutuhan akan figur teladan adalah fitrah manusia. Sebab, contoh konkret dan gambaran hidup memberi pengaruh tersendiri yang tidak diberikan oleh paparan teori semata. Oleh karena itu, banyak sekali ayat-ayat yang tertulis di dalam Al-Qur’anul Karim dan datang perintah untuk mengambil pelajaran darinya. Allah ta‘aala berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. Yusuf: 111).

Hendaknya seseorang jangan melupakan pelajaran sejarah umat-umat terdahulu. Hal ini dikarenakan penyelewengan dan penyimpangan wanita merupakan sebab utama hancurnya peradaban dahulu dengan kehancuran yang mengenaskan dan turunnya adzab Allah untuk para pelakunya.

Potret Wanita yang Dipuji


Terdapat kisah empat wanita yang tersebut dalam hadits berikut:

“Seutama-utama wanita penghuni surga adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, Maryam bintu ‘Imran, dan Asiyah bintu Muzahim -istri Fir’aun- (HR. Ahmad, shahih).

Asiyah Binti Muzahim rahimahallaah


Wanita mukminah yang namanya terukir dengan indah di dalam kitab mulia-Nya di mana setiap saat ribuan jutaan Islam membaca namanya. Al-Qur’an mengabadikan namanya sebagai contoh dan teladan bagi kaum wanita muslimah yang ingin mengikuti jejaknya dialah Asiyah istri Fir’aun. Karena keteguhan iman, ketaatan, dan kepasrahannya yang mendalam terhadap  takdir Rabb-Nya maka surgalah menjadi tempat tinggalnya yang abadi.

Allah ta‘aala berfirman (yang artinya), “Dan Allah membuat membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir’aun, ketika dia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim’.” (QS. At-Tahrim: 11).

Sosok wanita mukminah ini memiliki firasat yang kuat dan benar, beriman kepada Musa ‘alaihissalaam, sehingga dia disiksa oleh Fir’aun. Maksudnya Allah telah menjadikan keadaannya sebagai perumpamaan tentang keadaan orang-orang yang beriman sebagai sugesti bagi mereka agar teguh dalam ketaatan, berpegang kepada agama, dan sabar jika ditimpa kekerasan. Juga bahwa pasukan kafir tidak akan mampu menimpakan mudharat kepada mereka. Seperti keadaan istri Fir’aun, meskipun dia berada di bawah kekuasaan orang kafir yang paling kafir. Imannya kepada Allah membuatnya berada di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Di sini terkandung dalil bahwa hubungan kekufuran tidak menimbulkan mudharat terhadap iman.

Fathimah binti Muhammad Radhiyallaahu ‘Anha


Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke-4 dari anak-anak Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wa sallam dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Rasulullah memberi nama Fathimah dan memberikan julukan az-Zahra. Sedangkan kun-yah-nya adalah Ummu Abiha (ibu bagi bapaknya). Ia merupakan putri yang paling mirip dengan ayahnya. Fathimah tumbuh di bawah asuhan ayahnya yang penyayang.

Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan pendidikan Fathimah agar ia bisa mengambil pelajaran yang banyak dari beliau berupa adab, kasih sayang, dan bimbingan yang lurus. Seperti yang telah didapat oleh ibunya, Khadijah, berupa sifat-sifat yang suci dan perangai yang terpuji. Dengan dasar itu, Fathimah tumbuh di atas kesucian yang sempurna, kemuliaan jiwa, cinta kepada kebaikan, dan berakhlak baik. Ia mampu mengambil keteladanan yang tinggi dari ayahnya dalam segala perbuatan dan tingkah laku.

‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallaahu ‘anha berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang perkataan dan pembicaraannya paling menyerupai Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wa sallam selain Fathimah. Jika Fathimah masuk menemui Rasulullah maka beliau berdiri menuju kepadanya, menciumnya dan menyambutnya. Seperti itu juga Fathimah berbuat terhadap beliau” (HR.  At-Tirmidzi, shahih).

Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengungkapkan rasa cinta kepada putrinya ini tatkala beliau berkata di atas mimbar, “Sesungguhnya Fathimah bagian dari saya, barangsiapa yang membuatnya marah, maka dia telah membuat saya marah”  (HR Bukhari).

 Khadijah Binti Khuwailid Radhiyallaahu ‘Anha


Khadijah radhiyallaahu ‘anha tumbuh dengan akhlak yang utama dan adab yang mulia. Khadijah memiliki kehormatan, kemuliaan, dan kesempurnaan yang terjaga sehingga dikenal dengan julukan ath-Thahiirah (wanita yang suci) di tengah para wanita Makkah pada masanya.

Khadijah seorang wanita berdarah biru yang suci. Tentu saja ini merupakan kemuliaan yang agung, karena mendapatkan julukan yang harum dan penuh barakah ini. Padahal saat itu merupakan zaman yang dilumuri kotoran jahiliyah, sementara Khadijah menghadirkan nilai sebagai seorang wanita. Khadijah menjadi contoh yang mengagumkan di antara para wanita penduduk Makkah dalam hal kedudukan, kemuliaan, dan harta.

Maryam Binti ‘Imran rahimahallaah


Sebagiamana Allah ta‘aala berfirman (yang artinya), “Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Qur’an” (QS. Maryam: 16). Yaitu Maryam binti ‘Imran dari anak keturunan Dawud ‘alaihissalaam. Maryam berasal dari keluarga yang suci dan baik di antara Bani Isra’il.  Allah telah menyebutkan kisah bagaimana ibunya melahirkannya dalam surat Ali ‘Imran, bahwa ibunya menadzarkannya sebagai hamba yang mengabdi kepada Allah. Maksudnya, dengan memberikan pelayanan di Masjid Baitul Maqdis, dan saat itu mereka mendekatkan diri (kepada Allah) dengan hal itu.

Sebagaimana Allah ta‘aala berfirman (yang artinya), “Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, dan membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik” (QS. Ali ‘Imran: 37). Maryam tumbuh di antara Bani Isra’il dengan pertumbuhan yang luar biasa lagi terhormat. Maryam termasuk wanita yang taat beribadah, rajin dalam menjalankan perintah agama, terkenal dengan ibadah yang luar biasa, fokus untuk beribadah, dan sangat tekun.

Potret Wanita yang Dilaknat

Sebagaimana kisah dua wanita dalam ayat berikut:

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah, dan dikatakan (kepada keduanya) ‘masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)’.” (QS. At-Tahrim: 10).

Yakni, berbaur dan bergaulnya mereka dengan kaum muslimin, yang demikian itu sama sekali tidak bermanfaat bagi mereka di sisi Allah, seandainya di dalam hatinya tidak terdapat keimanan sedikitpun.

Maksudnya, dua orang Nabi dan Rasul selalu berada bersama keduanya siang dan malam, memberi makan keduanya, mencampuri, dan menggauli mereka berdua dengan perlakuan yang mesra lagi menyenangkan. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya dalam hal keimanan, mereka tidak sepakat untuk satu iman dengan mereka, tidak juga mau mempercayai risalah yang diemban keduanya. Semua itu tidak akan memperoleh apa-apa dan tidak akan mampu menolak petaka yang akan ditimpakan kepada mereka.

Dalam Surat At-Tahrim di atas, yang dimaksud dengan pengkhianatan bukan dalam fahisyah (zina), tetapi pengkhianatan dalam masalah agama. Karena istri-istri Nabi itu terpelihara dari perselingkuhan atau perzinaan demi menjaga kehormatan para Nabi.

Berusaha Meraih Predikat Wanita Shalihah

Sekilas kita sudah mengetahui potret wanita yang dipuji dan yang dilaknat. Dengan sedikit menilik kembali kisah-kisah di atas memberikan gambaran bagi kita sebagai seorang muslimah, supaya dapat memetik manfaat. Kemudian kita berlomba-lomba untuk menuju ketaatan kepada-Nya dan berusaha agar meraih predikat wanita shalihah. Wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia dan tidak ada alasan bagi wanita shalihah selain surga-Nya. Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam orang-orang yang taat dan tunduk terhadap perintah-Mu.
Ditulis oleh rahmawati - http://buletinzuhairoh.wordpress.com.
Demikianlah. Selama kita masih hidup, belum ada kata terlambat. - Wanita yang Dipuji dan Dilaknat - Anda yang Mana?

Orang yang membaca ini juga membaca:
Cara Tampil Cantik dengan Busana Muslimah
Busana di Dalam al-Qur'an